Jumat, 26 Februari 2016

AL-QUR’AN DAN HADIST TEMATIK PELAYANAN KESEHATAN PADA PASIEN NON MUSLIM

AL-QUR’AN DAN HADIST TEMATIK PELAYANAN KESEHATAN PADA PASIEN NON MUSLIM

Merawat pasien non muslim tidak serta merta berlaku aniaya terhadap mereka. Bermuamalah dengan orang non muslim sama halnya dengan bermuamalah dengan orang muslim. Perbedaan mendasarnya adalah Iman yang tentu mempengaruhi urusan pahala dan rasa cinta. Ketika merawat pasien muslim, tentunya akan bernilai pahala lebih besar karena saling menyayangi sesama muslim adalah kewajiban. Namun ketika merawat pasien non muslim, harapannya seorang perawat dapat memberikan perawatan yang baik sehingga pasien non muslim tersebut dapat menyadari keindahan Islam melalui akhlak seorang perawat muslim.
Allah berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah : 8)
Imam al Qurthubi mengatakan bahwa ayat ini adalah keringanan dari Allah di dalam berhubungan dengan orang-orang yang tidak memusuhi orang-orang beriman serta tidak memeranginya.
Rosulullaah shollallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat nanti di mizan (timbangan hari kiamat) dari pada akhlak yang baik” [Hadits shohih, riwayat At Tirmidzi (2003)]
Merawat pasien non muslim pun tidak asal pasien, pastikan bahwa pasien tersebut bukanlah pasien yang memusuhi Islam. Perlu diingat bahwa klasifikasi orang non muslim ada dua jenis. Jenis pertama adalah kafir harbi, yakni mereka yang memerangi Islam dengan segala bentuk makar. Orang seperti ini tidak layak mendapatkan belas kasih dari kaum Muslimin. Jenis kedua adalah kafir dzimmi, yakni mereka yang tidak memerangi kaum muslimin. Kafir jenis ini masih tetap mendapatkan haknya untuk menerima perlakuan baik.
Pastikan ketika merawat pasien non muslim tersebut, para perawat muslim memiliki tujuan dakwah. Berbicara sopan, mengenakan pakaian yang rapi dan syar’i serta tidak menyentuh tanpa alas terhadap pasien lawan jenis. Hal ini diharapkan dapat menjadi sarana dakwah bagi pasien tersebut. Terlebih jika akhirnya mereka masuk Islam karena perawatan yang baik, maka pahala besar akan terus mengalir kepada sang perawat muslim.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Tsabit dari Anas bahwa seorang remaja Yahudi yang biasa membantu Nabi shollallaahu ‘alayhi wa sallam mengalami sakit dan Nabi shollallaahu ‘alayhi wa sallam mendatanginya untuk menjenguknya lalu beliau shollallaahu ‘alayhi wa sallam duduk di dekat kepalanya dan mengatakan kepadanya, ”Masuk islamlah kamu.” Kemudian remaja itu memandang ke arah ayahnya yang ada didekatnya dan ayahnya pun berkata kepadanya, ”Taatilah Abal Qosim Muhammad shollallaahu ‘alayhi wa sallam. ”Lalu remaja itu pun masuk islam. Nabi pun meninggalkannya dan bersabda, ”Alhamdulillah yang telah menyelamatkannya dari neraka.”
Sebagai perawat muslim, haram mengucapkan selamat kepada orang kafir. Seperti ucapan “assalamu’alaikum” atau semisalnya.
Rosulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian mengawali salam kepada orang Yahudi dan Nasrani.” (HR. Muslim)
Sebagai seorang muslim, kita dilarang untuk mengucapkan salam terlebih dahulu kepada pasien non muslim. Namun ketika mereka mengucapkan salam terlebih dahulu, maka seorang muslim boleh menjawab dengan mengucap sebatas “Wa ‘alaikum (dan demikian atasmu)”.
Rosulullah shollallaahu ‘alayhi wa sallam, ”Apabila seorang ahli kitab mengucapkan salam kepada kalian maka jawablah,’Wa Alaikum.” (Muttafaq Alaih)
Setiap tindakan perawatan dalam upaya merawat pasien non muslim mau pun muslim, sama-sama bernilai sedekah. Rosulullaah shollallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Pada manusia itu ada 360 tulang dan masing-masing wajib bersedekah setiap harinya. Setiap kalimat yang baik itu sedekah, pertolongan seseorang terhadap saudaranya termasuk sedekah, memberi minum air termasuk sedekah dan menyingkirkan gangguan di jalan juga termasuk sedekah” [Hadits shohih, riwayat Ath Thobroni (11/55)]
Petunjuk Menyantuni Pasien Non Muslim Terhadap pasien yang tidak beragama Islam, petugas pelayanan kerohanian bijaksana dalam melayaninya dan menampakkan sikap-sikap dan kata-kata yang menarik serta menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah amat baik, termasuk sikap terhadap pemeluk agama lain.
Sudah barang tentu kesemuanya itu dengan cara-cara yang tidak menyinggung perasaannya dan tidak keluar dari ajaran agama Islam. Oleh karena itu terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh para petugas pelayanan keronahiahan terhadap pasien non muslim, yang di antaranya adalah:
a.       Mengucapkan salam “Selamat pagi / selamat siang / selamat sore/selamat malam” dengan disertai sikap yang baik, sopan, dan tidak mengganggu privasi dirinya.
b.      Lalu kalau situasi mengizinkan dapat dilanjutkan dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada pasien atau keluarga yang menunggu, misalnya :
1)      Bagaimana keadaannya?
2)      Apakah yang Anda rasakan?
3)      Sudah berapa lama merasakan demikian?
4)      Sudah diperiksa dokter?
5)      Sudah berobat ke mana saja?
6)      Apakah Anda merasa gelisah, bingung, pesimis atau optimis?
c.       Dapat diinformasikan kepada pasien dan keluarganya bahwa kalau memangmembutuhkan bimbingan rohani, diperbolehkan mendatangkan petugas dari luar, asal tidak mengganggu pasien lain yang ada di sekelilingnya dan seizin pihak rumah sakit.
d.      Kepada pasien atau keluarganya petugas pelayanan kerohanian dapat memberikan nasihatnya agar tetap tabah, sabar dalam menghadapi ujian sakit, tenang dan tidak gugup serta optimis akan kesembuhannya.
e.       Petugas pelayanan kerohanian mohon pamit, dengan mengucapkan Permisi Pak/Bu, semoga cepat sembuh.
Dalam islam kita di ajarkan cara berakhlaq yang baik dengan sesama muslim maupun non muslim, kita di anjurkan bersikap adil kepada siapapun dalam bidang kesehatan. Hendaknya seorang perawat muslim tidak membeda-bedakan antara pesien muslim dan non muslim hendaknya seorang perawat mampu bersikap adil terhadap pasien selama dalam batas-batas yang di perbolehkan agama.
Dengan begitu hendaklah perawat tetap memberikan perhatian terhadap perkembangan kesehatannya, merawatnya secara baik, bersikap lemah lembut terhadapnya, membantu memenuhi kebutuhannya selama dibawah perawatan kita sebagai perawat, memberikannya makanan jika memang dirinya tidak memiliki atau membutuhkan makanan, menutupi auratnya jika tersingkap, melunakkan suara, menunjukkan keramahan terhadapnya, tidak ada salahnya anda mengucapkan kepadanya,”semoga lekas sembuh”, sebagaimana disebutkan didalam shahih Muslim tentang seorang sahabat yang meruqyah seorang kepala kampung—ada kemungkinan kampung kafir atau kampung orang-orang bakhil, sebagaimana disebutkan Ibnul Qoyyim didalam kitab “Madarij as Salikin—yang disengat oleh ular berbisa.
Namun hendaklah berbagai perbuatan baik yang dilakukan seorang perawat muslim terhadap para pasien non muslim yang tidak memerangi kaum muslimin itu tetap dalam batas-batas yang wajar, sehingga tidak tampak seperti mengagungkan mereka dan merendahkan dirinya sebagai seorang muslim.
Itu semua juga merupakan sarana da’wah yang bisa anda gunakan untuk bisa melunakkan kekerasan hatinya yang selama ini tertutupi oleh kekufuran dan jauh dari kebenaran. Dengan begitu orang tadi akan merasakan keramahan dan kelembutan anda terhadap dirinya walau berbeda agama dan pada akhirnya dia akan merasakan kenyamanan dengan anda. Anda pun bisa memberikan sentuhan-sentuhan da’wah lainnya di saat-saat luang, seperti tentang keesaan Allah, obat dari segala penyakit ada di tangan-Nya hingga menawarkan islam kepadanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Tsabit dari Anas bahwa seorang remaja Yahudi yang biasa menmbantu Nabi saw—sakit dan Nabi saw mendatanginya—untuk menjenguknya lalu beliau saw duduk di dekat kepalanya dan mengatakan kepadanya,”Masuk islamlah kamu.” Kemudian remaja itu memandang kearah ayahnya yang ada di dekatnya dan ayahnya pun berkata kepadanya,”Taatilah Abal Qosim—Muhammad—saw.” Lalu remaja itu pun masuk islam. Nabi pun meninggalkannya dan bersabda,”Alhamdulillah yang telah menyelamatkannya dari neraka.”
Adapun tentang mengucapkan salam kepada pasien non muslim maka dilarang bagi anda mengawali salam kepadanya, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Janganlah kalian mengawali salam kepada orang Yahudi dan Nasrani.” (HR. Muslim).
Akan tetapi jika si pasien non muslim itu mengawali salam kepada anda maka cukuplah anda menjawab dengan “wa alaikum”, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Apabila seorang ahli kitab mengucapkan salam kepada kalian maka jawablah,’Wa Alaikum.” (Muttafaq Alaih)

Kamis, 25 Februari 2016

HUKUM SUNAT PEREMPUAN



AGAMA ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN
HUKUM SUNAT PEREMPUAN




NAMA KELOMPOK:
1.      NINING NAZRIH
2.      ARUM WAHYUNINGTYAS
3.      TITI WENNY
4.      SHUFIA AULIA CITRA
5.      REZA BINTANGDARI JOHAN
6.      EKA VICKY YULIVANTINA
7.      HAFIFAH WIAJAYNTI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STIKES ‘AISYIYAH PROGRAM STUDI DIPLOMA IV BIDAN PENDIDIK
YOGYAKARTA
2016

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaykum Wr. wb
      Syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT sebagai sang penguasa alam semesta yang maha pemurah dan maha penyayang yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas makalah agama islam dan kemuhammadiyahan yang berjudul “Sunat perempuan”  Sholawat serta salam kiranya tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat beliau sebagai sauri tauladan seluruh umat Islam.
      Makalah ini adalah salah satu tugas yang diberakan oleh mata kuliah agama islam dan kemuhammadiyahan. Dalam penyusunan Makalah ini saya tidak lepas dari bimbingan, pengarahan, petunjuk, bantuan, dan saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis haturkan terimakasih kepada semua pihak yang bersangkutan.
          Disadari bahwa dalam penulisan Makalah  ini masih terdapat banyak kesalahn dan masih jauh dari sempurna, sehingga masih perlu perbaikan dan saran dari para pembaca. Penulis juga berharap semoga Makalah ini dapat memebrikan manfaat bagi kita semua. Amiin Ya Robbal’Alamiin.
Wassalamu’alaykum Wr. wb














DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A.    Latar Belakang..................................................................................................1
B.     Rumusan Masalah............................................................................................3
C.     Tujuan Umum...................................................................................................3
D.    Manfaat.............................................................................................................3
BAB II TINAJUAN PUSTAKA..................................................................................4
A.    Konsep dasar khitan perempuan.......................................................................4
B.     Budaya terkait khitan perempuan.....................................................................6
C.     Substansi dan diktum fatwa khitan perempuan................................................8
D.    Argumentasi atas penetapan fatwa khitan perempuan.....................................9
E.     Fatwa MUI tentang khitan perempuan...........................................................11
F.      Permenkes tentang sunat perempuan..............................................................13
G.    Undang-undang tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan
bentuk diskriminasi wanita.............................................................................14
H.    Peran bidan terkait pandangan islam terhadap sunat perempuan...................16
BAB III ......................................................................................................................17
A.    Kesimpulan.....................................................................................................17
B.     Saran...............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pelaksanaan khitan/sunat perempuan di Indonesia masih banyak menuai kontroversi. Masalah khitan perempuan dibahas di MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah mendapat pertanyaan dari Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan. Pertanyaan tersebut muncul disertai data penyimpanan pelaksanaan khitan perempuan di berbagai negara. Dan dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Comulation Council terhadap pelaksanaan sunat perempouan di enam provinsi di Indonesia yang dibiayai oleh USAID dan Ford Fondation. Bahkan terkait dengan hal ini departemen kesehatan RI, Dirjen Bina Kesejahteraan Masyarakat telah mengeluarkan surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan.
Hasil survei Dana anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) yang dilakukan pada 2013 dan dipublikasikan tahun 2015 lalu pada 300.000 rumah tangga di 33 provinsi dan 497 kota menyebut bahwa lebih dari separuh anak gadis mereka telah disunat sebelum umur 12 tahun. Data sunat perempuan tertinggi ditemukan di Provinsi Gorotalo, dan terendah di Nusa Tenggara Timur.Data UNICEF juga menunjukkan fakta yang mengejutkan, yakni 3 dari 4 anak gadis yang disunat mengalami pemotongan klitoris pada umur di bawah 6 bulan.Data itu juga mengungkap bahwa orangtua adalah orang yang paling banyak merekomendasikan anak-anak gadis ini untuk disunat, sisanya adalah pemuka agama, saudara, dan tokoh masyarakat.
Disisi lain terjadi beragam tata cara pelaksanaan khitan bagi perempuan yang tidak jarang berimplikasi terhadap adanya bahaya bagi perempuan. Dalam penelitian yang dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia pun telah terjadi keragaman praktek khitan perempuan. Ada yang dengan cara menggores dan mengerik klitoris, menusuk, mencubit, dan menindik insisi dan eksisi.
Dorongan untuk pelarangan khitan perempuan semakin menguat dengan kampanye yang sistematis dari WHO serta beberapa lembaga donor. Sementara itu, dalam literatur fiqh tidak ditemukan satupun ulama madzhab fiqh yang muktabar (terkenal) melarang khitan perempuan. Bahkan ada kesepakatan bahwa khitan perempuan adalah bentuk keutamaan. Hanya saja terdapat perbedaan hukum fiqh nya antara sunah dan wajib. Belakangan ada beberapa ulama kontemporer seperti Yusuf Qordowi yang menambah ketentuan hukum “mubah=boleh”, merujuk pada kenetralan pengertian yang diperoleh dari kata “makrumah” dalam hadis nabi “al khitanu sunnatan lir rijal makrumatun lin nisaa = khitan merupakan sunah atau ketetapan rosul bagi laki-laki dan makrumah (kemuliaan) bagi wanita.
Untuk itu penetapan fatwa tidak lagi seputar hukum khitan bagi perempuan. Karena secara fiqh ketentuan tersebut sudah sangat panjang lebar dijelaskan dalam berbagai literatur, baik klasik maupun kontemporer. Permasalahan yang justru baru adalah adanya tren pelanggaran terhadap khitan perempuan secara umum. Bahkan sudah dituangkan dalam kebijakan pemerintah, sekalipun itu hanya surat edaran, yang dalam tata perundangan kita tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Untuk menjaga kualitas pelayanan kebidanan yang profesional Qur’ani, dalam makalah ini akan dijelaskan fiqh perempuan dan budaya yang membahas mengenai sunat perempuan, bagaimana fatwa MUI terhadap sunat perempuan dan peran pemerintah dalam menyikapi sunat perempuan.


B.     Tujuan
1.      Tujuan Umum
Untuk mengetahui fiqh perempuan dan budaya tentang khitan perempuan.
2.      Tujuan Khusus
a.       Diketahuinya konsep dasar khitan perempuan
b.      Diketahuinya budaya terkait khitan perempuan
c.       Diketahuinya substansi dan diktum fatwa khitan perempuan
d.      Diketahuinya argumentasi atas penetapan fatwa khitan perempuan
e.       Diketahuinya fatwa MUI tentang khitan perempuan
f.       Diketahuinya Permenkes tentang sunat perempuan
g.      Diketahuinya undang-undang tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan bentuk diskriminasi wanita
h.      Diketahuinya peran bidan terkait pandangan islam terhadap sunat perempuan

C.     Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah : “Bagaimana fiqh perempuan dan budayapada khitan perempuan ?”
D.    Manfaat
1.      Bagi bidan
Sebagai dasar bagi bidan untuk memberikan asuhan kebidanan kepada perempuan sepanjang siklus hidupnya
2.      Bagi institusi
Sebagai dasar untuk dijadikan sumber pustaka mengenai fiqh perempuan dan budaya pada khitan perempuan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Konsep Dasar Khitan Perempuan
1.      Pengertian Khitan Perempuan
Secara etimologis, khitan berasal dari bahasa Arab “khatana” yang berarti “memotong”.
Khitan perempuan adalah memotong sedikit kulit labia minora atau preputium clitoris di atas uretra di farji atau kemaluan. Kata lain yang sering digunakan adalah sunat dan istilah lain yang kurang dikenal yaitu khifad yang berasal dari kata khafd, istilah ini khusus untuk khitan perempuan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan, sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris.
Secara internasional sunat perempuan dikenal dengan istilah female genital cutting (FGC) atau genital mutilation. Genital cutting adalah pemotongan alat kelamin sedangkan genital mutilation identik dengan perusakan alat kelamin. FGC merupakan segala prosedur menghilangkan sebagian atau seluruh bagian alat kelamin luar perempuan atau perlukaan organ genital perempuan baik karena didasari oleh alasankebudayaan atau alasan nonmedis lainnya.
2.      Klasifikasi Khitan Perempuan
WHO telah melakukan klasifikasi praktek sunat perempuan ke dalam 4 tipe :
a.       Tipe I : Clitoridotomy, yaitu eksisi dari permukaan (prepuce) klitoris, denganatau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris. Dikenal juga dengan istilah“hoodectomy”.
b.      Tipe II : Clitoridectomy, yaitu eksisi sebagian atau total dari labia minora.Banyak dilakukan di Negara-negara bagian Afrika Sahara, Afrika Timur, Mesir,Sudan, dan Peninsula.
c.       Tipe III: Infibulasi/Pharaonic Circumcision/Khitan ala Firaun, yaitu eksisisebagian atau seluruh bagian genitalia eksterna dan penjahitan untukmenyempitkan mulut vulva. Penyempitan vulva dilakukan dengan hanyamenyisakan lubang sebesar diameter pensil, agar darah saat menstruasi dan urinetetap bisa keluar.
d.      Tipe IV: Tidak terklarifikasi, termasuk di sini adalah menusuk dengan jarumbaik di permukaan saja ataupun sampai menembus, atau insisi klitoris dan ataulabia; meregangkan (stretching) klitoris dan atau vagina; kauterisasi klitoris danjaringan sekitarnya; menggores jaringan sekitar introitus vagina (angurya cuts)atau memotong vagina (gishiri cut), memasukkan benda korosif atau tumbuh-tumbuhanagar vagina mengeluarkan darah, menipis, dan menyempit.
3.      Manfaat Sunat Perempuan
Ada beberapa anggapan yang dipercayai masyarakat tentang manfaat khitan  perempuan yaitu: Mengurangi dan menghilangkan jaringan sensitif dibagian luar kelamin terutama klitoris agar dapat menahan keinginan seksualitas perempuan, memelihara kemurnian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaaan di dalam pernikahan, dan menambah kenikmatan seksual laki- laki. Namun, manfaat tersebut tidak didasari fakta ilmiah.
4.      Resiko Sunat Perempuan
Menurut Koblinsky (2007) Resiko yang timbul akibat sunat pada perempuan dapat berupa perdarahan, tetanus, infeksi yang disebabkan oleh alat yang digunakantidak steril, dan syok karena rasa nyeri saat dilakukan tindakan tanpa anastesi. Dalam pandangan medis kegiatan sunat pada perempuan dapat membahayakan,karena menyangkut menghilangkan alat vital pada perempuan. Dari tindakan sunatperempuan dapat mengakibatkan komplikasi yang bersifat jangka panjang padaperempuan seperti: Kesulitan menstruasi, infeksi saluran kemih kronis,disfungsi seksual, kesulitan saat hamil dan persalinan, dan meningkatkan resiko tertularHIV. Selain berdampak secara medis, sunat perempuan juga dapat menimbulkandampak yang bersifat psikoseksual, psikologis, dan sosial.
B.     Budaya Terkait Khitan Perempuan
Praktik khitan perempuan atau sudah ada sejak jaman sebelum masehi. Penelitian antropologi menunjukkan bahwa praktik tersebut sudah ada pada mummi perempuan Mesir yang justru ditemukan pada golongan kaya dan berkuasa, bukan dari rakyat jelata pada abad ke-16 SM. Ahli antropologi menduga pada jaman kuno sunat untuk mencegah masuknya roh jahat melalui vagina. Khitan pada mummi itu memiliki tandaclitoridectomy (pemotongan yang merusak alat kelamin). Selain ditemukan pada bangsa Mesir, khitan juga sudah menjadi tradisi bangsa-bangsa di lembah Nil; yakni Sudan, Mesir dan Ethiopia.
Di Indonesia banyak provinsi yang masih menerapkan sunat perempuan. Sunat perempuan merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang timbul sejak dahulu dari berbagai nilai, khususnya nilai agama dan nilai budaya. Alasan inilah yang menyebabkan terpeliharanya dan tetap berlangsungnya sunat perempuan. Secara umum, perempuan yang masih memelihara praktek sunat pada perempuan adalah mereka yang hidup dalam masyarakat tradisional di wilayah pedalaman. WHOmembedakan alasan pelaksanaan sunat perempuan sehingga masih membudaya sebagai berikut :
1.      Psikoseksual
Sunat pada perempuan berawal dari keinginan laki-laki untuk mengendalikan seksual wanita. Dalam tradisi masyarakat, laki-laki tidak akan menikahi wanita yang belum disunat dan menganggap wanita tersebut akan gemar bersetubuh dengan siapa saja, tidak bersih dan tidak layak dipercaya secara seksual. Dalam masyarakat yang mempraktekkan sunat perempuan, seorang perempuan yang tidak disunat tidak akan mendapatkan jodoh dan kesetiaan perempuan yang tidak disunat sangat diragukan oleh masyarakat.
2.      Sosiologi
Secara sosiologi khitan pada perempuan merupakan bagian dari identifikasi warisan budaya, tahapan anak perempuan memasuki masa kedewasaan, integrasi sosial dan memelihara kohesi sosial.
3.      Kebersihan
Alasan kebersihan, kesehatan dan keindahan merupakan dalil pembenaran yang diakui oleh masyarakat untuk melakukan sunat perempuan. Pemotongan klitoris dikaitkkan dengan tindakan pensucian dan pembersihan oleh masyarakat.
4.      Mitos
Budaya yang berhubungan dengan sunat perempuan yang perlu mendapat perhatian adalah mitos-mitos yang mendasari pelaksanaan sunat perempuan. Masyarakat meyakini bahwa bila anak perempuan yang tidak disunatkan akan menjadi nakal dan genit. Mitos lain yang berkembang dimasyarakat yaitu sunat perempuan akan menjadikan perempuan lebih feminim, mengontrol kegiatan seksual perempuan dan menjadikan perempuan selalu tunduk kepada laki-laki.
5.      Agama
Landasan agama sebagai alasan pokok mengapa tradisi khitan pada perempuan sampai sekarang masih dilaksanakan oleh sebagian masyarakat, diantaranya adalah beberapa pendapat yang mengatakan kewajiban bersunat dalam agama islam walaupun sejarah menemukan sunat perempuan sudah ada sebelum adanya islam. Ada sekelompok umat islam yang berpandangan bahwa jika perempuan tidak di khitan tidak diperkenankna membaca Al-Quran dan melakukan shalat lima waktu.
C.     Substansi dan Diktum Fatwa Khitan Perempuan
Diktum fatwa MUI No 9.A tahun 2008 tertanggal 7 Mei 2008, tentang : “ Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan” terdiri dari 4 bagian :
1.      Status hukum khitan perempuan
a.       Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah atau aturan dan syiar islam
b.      Khitan terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.
2.      Hukum pelarangan khitan terhadap perempuan
Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syariah, karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah atau aturan dan syiar islam.
3.      Batas atau cara khitan perempuan
a.       Khitan perempuan cukup dengan hanya menghilangkan selaput ( jaldah/colum) yang menutupi klitoris
b.      Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris ( insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dloror (bahaya dan merugikan)
4.      Rekomendasi
a.       Meminta kepada pemerintah departemen kesehatan untuk menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan peraturan / regulasi tentang masalah khitan perempuan.
b.      Menganjurkan kepada pemerintah untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis untuk melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa MUI.
Dari diktum fatwa tersebut, sejatinya fatwa MUI ingin menegaskan dua substansi sekaligus, yaitu menegaskan (tidak menyetujui) tindak pelarangan khitan terhadap perempuan dan menegaskan tata cara berkhitan bagi perempuan yang sesuai dengan ketentuan syariah dan melarang tindakan berlebihan dalam praktek khitan yang menimbulkan bahaya bagi perempuan baik secara fisik maupun psikis.
D.    Argumentasi atas Penetapan Fatwa Khitan Perempuan
Fatwa MUI terkait dengan masalah khitan perempuan diawali dengan adanya penegasan bahwa khitan baik bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah dan syiar islam. Pelaksanaannya merupakan bagian dari ibadah. Hal ini menjadi penting untuk ditegaskan terkait dengan adanya kesalahpahaman terhadap posisi khitan. Khitan tidak hanya sekedar kebutuhan medis, namun merupakan bentuk ibadah yang dogmatik. Meski tidak jarang ajaran agama yang bersifat dogmatik tersebut melahirkan hikmah positif.
Fatwa ini berdasar pada keumuman ayat tentang perintah mengikuti millah Ibrahim sebagaimana dalam Al Quran surat Ali Imron ayat 95 :
Katakanlah : “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.” Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.
Surat An-Nisa ayat 125 :
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus ? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangn-Nya.
Surat Ali Imron ayat 31 :
Katakanlah : “ jika kamu ( benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Penetapan fatwa bahwa pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan syariah, didasarkan pada keumuman ayat-ayat Al-Quran tersebut diatas. Sunnah dan pandangan ulama madzhab yang bersepakat atas kebolehan khitan terhadap perempuan. Secara tersirat, terdapat adanya konsensus di kalangan ulama mengenai ketidakbenaran tindakan pelarangan khitan terhadap perempuan. Ulama sepakat bahwa khitan terhadap perempuan tidak haram, pun tidak makruh.
Dalil Al-Quran yang dijadikan landasan fatwa  MUI ini adalah keumuman ayat tentang keharusan mengikuti millah Ibrahim, antara lain surat An Nahl ayat 123 :
Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad) : “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Dalam konteks ayat ini ada penjelasan dari hadis nabi SAW shaheh, riwayat Bukhari Muslim yang artinya : “nabi Ibrahim berkhitan pada usia delapan puluh tahun dengan menggunakan kapak.”
E.     Fatwa MUI tentang Khitan Perempuan : Moderasi atau Jalan Tengah Antara Dua Ekstrim
Dari paparan di atas, dapat kita pahami bahwa fatwa MUI terkait dengan masalah khitan perempuan merupakan langkah modernisasi diantara dua ekstrim. Jika digambarkan secara sederhana, penyikapan terhadap masalah khitan perempuan ada dua kutub yang berlawanan, yaitu :
1.      Pihak yang melakukan khitan terhadap perempuan dengan praktek yang secara pasti membahayakan seperti dengan menjepit dan sejenisnya, menutup dan menjahit vagina, mengambil seluruh klitoris dan labia baik labia mayora maupun minora dan praktek lain yang membahayakan sebagaimana digambarkan terjadi di beberapa negara di Afrika Utara.
2.      Pihak yang melarang seluruh praktek khitan perempuan dengan alasan sebagai bentuk kekerasan, mutilasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Banyak tulisan yang bernada sangat provokatif dan memaksakan opini bahwa khitan perempuan adalah tindakan kriminal yang harus diberangus.
Fatwa MUI berdiri di antara dua ekstrim tersebut, karena keduanya secara akademik maupun keagamaan bertentangan dengan ketentuan normatif yang dikembangkan islam. Kepada pihak yang menyatakan pelarangan mutlak terhadap khitan perempuan secara agama jelas bertentangan, sebagaimana tersebut dalam diktum kedua fatwa yang dijelaskan di atas. Namun demikian fatwa MUI tidak menutup mata terhadap fatwa adanya berbagai praktek khitan perempuan. Fatwa MUI juga menegaskan mengenai batasan atau tata cara khitan perempuan sesuai dengan ketentuan syariah. Penentuan batasan atau tatacara khitan tersebut didasarkan pada petunjuk yang diberikan nabi SAW yang menekankan 3 prinsip, yaitu :
1.      Sedikit saja
2.      Tidak berlebihan
3.      Tidak menimbulkan bahaya
Rasulullah SAW hanya memperbolehkan pemotongan dalam sunat dilakukan dengan syarat tidak berlebihan, sehingga tidak menyebabkan bahaya, seperti mengurangi fungsi seksual dan dampak pfisik lainnya. Di samping itu, penetapan batas atau tatacara khitan juga merujuk pada pendapat beberapa ahli kedokteran, diantaranya kesimpulan dalam presentasi Prof.Dr.Jurnalis Uddin (Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Jakarta) yang menegaskan bahwa khitan pada laki-laki hanya memotong preputium penis, mestinya yang dilakukan pada khitan perempuan adalah juga memotong preputium klitoris saja. Dengan demikian khitan terhadap perempuan secara umum sebanding dengan khitan terhadap laki-laki. Hanya saja karena secara anatomis antara keduanya berbeda, maka tatacaranya juga berbeda. Khitan lelaki dilakukan dengan membuang kulup yang menutupi penis (hasyafah) sedang pada perempuan dilakukan dengan membuang kulup yang menutup klitoris (bizhr).
Fakta terhadap adanya berbagai dampak negatif yang ditemukan, lebih sebagai akibat penyimpangan dari praktek khitan perempuan tersebut. Untuk itu sebagai tindak lanjut dari langkah moderat dalam penyimpangan terhadap masalah khitan perempuan, fatwa MUI diakhiri dengan dua point rekomendasi. Kedua rekomendasi tersebut diberikan mengingat masalah khitan perempuan sebagai salah satu bentuk ibadah, dalam hukum islam termasuk dalam masalah Fiqh Ijtima’i ( yang punya dimensi sosial), sehingga membutuhkan intervensi dari pemegang kebijakan publik.
Dari fatwa tersebut, MUI menyetujuia adanya pelarangan khitan perempuan yang menyimpang, tetapi mendukung sepenuhnya kelompok yang memperbolehkan khitan perempuan dengan cara yang sesuai dengan syar’i terseut, dengan 3 prinsip yang dikemukakan oleh nabi SAW dalam hadis-hadisnya.
F.      Permenkes Tentang Sunat Perempuan
Penegasan mengenai status hukum khitan perempuan tidak hanya disuarakan oleh MUI. Hampir seluruh lembaga keagamaan menegaskan hukum yang terkait dengan masalah ini. Bahkan NU dalam mukhtamarnya yang ke 32 di Makasar pada tahun 2010 menegaskan bahwa khitan perempuan menurut Imam Syafi’i hukumnya wajib seperti khitan bagi laki-laki.
Atas dasar realitas ini kemudian pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan melakukan review terhadap masalah tersebut. Dalam review tersebut seluruh pemangku kepentingan diundang untuk mendiskusikan, mengevaluasi dan memberikan masukan terkait dengan sunat perempuan. Pertemuan tersebut menghadirkan ahli dan sejumlah asosiasi, mulai dari IDI, IDAI, IBI dan juga dari kalangan akademisi.
Masalah yang selama ini dijadikan alasan pelarangan sunat perempuan adalah tidak adanya standar operational prosedur (SOP), dalam pelaksanaan sunat perempuan, sehingga terjadi penyimpangan yang membahayakan. Atas dasar inilah maka Menteri Kesehatan menerbitkan Peratuaran Menteri Kesehatan No.1636/MENKES/PER/XI/2010,dalam pasal 4 telah mengatur mengenai syarat dan prosedur  pelaksanaan sunat perempuan, yaitu :
1.      Pelaksanaan sunat perempuan dilakukan dengan persyaratan :
a.       Di ruangan yang bersih
b.      Tempat tidur / meja tindakan yang bersih
c.       Alat yang steril
d.      Pencahayaan yang cukup
e.       Ada air bersih yang mengalir
2.      Pelaksanaan sunat perempuan dengan prosedur tindakan sebagai berikut :
a.       Cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir
b.      Gunakan sarung tangan steril
c.       Pasien berbaring terlentang, kaki direntangkan secara hati-hati
d.      Fiksasi pada lutut dengan tangan, vulva ditampakkan
e.       Cuci vulva dengan povidon iodin 10% menggunakan kain kasa
f.       Bersihkan kotoran yang ada di antara frenulum klitoris dan glan klitoris sampai bersih
g.      Lakukan goresan pada frenulum klitoris dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai berukuran 20-22G dari sisi mukosa ke arah kulit tanpa melukai klitoris
h.      Cuci ulang daerah tindakan dengan povidon iodin 10%
i.        Lepas sarung tangan
j.        Cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir
G.    Undang-undang Tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Bentuk Diskriminasi Wanita
Sejalan dengan kampanye pelarangan sunat perempuan, muncul opini sistematis bahwa khitan perempuan merupakan pelanggaran terhadap hak perempuan, merusak alat produksi dan opini stereotipikal lainnya. Gagasan dan semangat perlindungan hak asasi termasuk hak anak dan hak perempuan menjadi komitmen semua bangsa yang berbudaya, apapun agamanya.
Secara rinci Permenkes No 1636/Menkes/Per/XI/2010 memberikan jaminan perlindungan kesehatan terhadap pelaksanaan khitan perempuan tanpa terjebak pada wilayah agama dan keyakinan. Permenkes ini mengikat bagi orang yang akan melaksanakan sunat perempuan. Untuk menjamin pelaksanaan sesuai kompetensinya, pada pasal 2 Permenkes menegaskan bahwa sunat perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu yang meliputi dokter, bidan dan perawat yang telah memiliki surat ijin praktek atau surat ijin kerja dan diutamakan yang berjenis kelamin perempuan. Sementara untuk menjamin bahwa pelaksanaan sunat perempuan bersifat opsional, maka pasal 3 menegaskan bahwa pelaksanaan khitan perempuan hanya dapat dilakukan atas permintaan dan persetujuan perempuan yang disunat, orangtua dan atau walinya. Dan diinformasikan kemungkinan terjadinya perdarahan, infeksi dan rasa nyeri. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur dalam UU no 32 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Ketentuan ini dengan sifatnya berbasis permintaan, juga sekaligus menjawab tudingan sebagian orang bahwa pemerintah telah masuk dalam urusan agama.
Untuk menegaskan perlindungan terhadap anak yang akan disunat dan mencegah terjadinya komplikasi, sunat perempuan tidak dapat dilakukan pada perempuan yang sedang menderita infeksi genitalia eksterna. Sunat perempuan juga dilarang dilakukan dengan cara mengkauterisasi klitoris, memotong atau merusak klitoris baik sebagian atau seluruhnya, memorong atau merusak labia minora, labia mayora, hymen dan vagina baik sebagian atau seluruhnya. Ketentuan ini sekaligus mengkonfirmasi praktek sunat perempuan yang tidak dibenarkan secara medis. Permenkes ini juga sekaligus menjadi benteng untuk mencegah penyimpangan praktek sunat perempuan yang membahayakan bagi orang yang disunat.
Walau demikian, masih bayak yang berteriak dan menganggap permenkes ini bertentangan dengan hak asasi manusia. Dalam pernyataan sikapnya Yayasan Kalyana Mitra dan LSM Amnesty International menyerukan pencabutan permenkes ini. Pernyataan sikap bersama masyarakat sipil Indonesia dan Amnesty Internasional tertanggal 23 Juni 2011 adalah sebagai berikut : “Peraturan Menteri Kesehatan No1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang sunat perempuan harus dicabut.” Pernyataan ini antara lain didukung oleh Yayasan Kalyana Mitra dan LBH APIK DKI Jakarta. Dalam pernyataan sikapnya, kelompok ini mengutip Komite PBB untuk CEDAW 2007 yang menegaskan bahwa praktek sunat perempuan tidak memiliki dasar agama. Sebagaimana dijelaskan di awal dan dipertegas dalam fatwa MUI, dalam islam praktek sunat perempuan jelas berelasi dengan agama.
H.    Peran Bidan Terkait Pandangan Islam terhadap Sunat Perempuan
Bidan sebagai tenaga kesehatan di tingkat pertama, hendaknya bijaksana dalam menyikapi sunat perempuan di Indonesia. Bidan harus mampu menjelaskan bagaimana sunat perempuan yang seharusnya dilakukan, resiko sunat perempuan dan melakukan inform choice dan inform consent terhadap pasien serta keluarga pasien yang hendak melakukan sunat perempuan.Peran dakwah bisa dilakukan dengan memberikan penjelasan bagaimana sunat perempuan dalam pandangan islam kepada pasien.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Khitan perempuan adalah memotong sedikit kulit labia minora atau preputium clitoris di atas uretra di farji atau kemaluan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan, sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Beberapa anggapan yang dipercayai masyarakat tentang manfaat khitan  perempuan yaitu: Mengurangi dan menghilangkan jaringan sensitif dibagian luar kelamin terutama klitoris agar dapat menahan keinginan seksualitas perempuan, memelihara kemurnian dan keperawanan sebelum menikah. Menurut Koblinsky (2007) Resiko yang timbul akibat sunat pada perempuan dapat berupa perdarahan, tetanus, infeksi yang disebabkan oleh alat yang digunakan tidak steril, dan syok karena rasa nyeri saat dilakukan tindakan tanpa anastesi. Dalam pandangan medis kegiatan sunat pada perempuan dapat membahayakan,karena menyangkut menghilangkan alat vital pada perempuan.
            Pada Diktum fatwa MUI No 9.A tahun 2008 tertanggal 7 Mei 2008, tentang : “ Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan” dijelaskan bahwa sejatinya fatwa MUI ingin menegaskan dua substansi sekaligus, yaitu menegaskan (tidak menyetujui) tindak pelarangan khitan terhadap perempuan dan menegaskan tata cara berkhitan bagi perempuan yang sesuai dengan ketentuan syariah dan melarang tindakan berlebihan dalam praktek khitan yang menimbulkan bahaya bagi perempuan baik secara fisik maupun psikis. Bidan sebagai tenaga kesehatan di tingkat pertama, hendaknya bijaksana dalam menyikapi sunat perempuan di Indonesia. Bidan harus mampu menjelaskan bagaimana sunat perempuan yang seharusnya dilakukan, resiko sunat perempuan dan melakukan inform choice dan inform consent terhadap pasien serta keluarga pasien yang hendak melakukan sunat perempuan.

B.     Saran
1.      Perlunya persamaan persepsi dengan masyarakat mengenai sunat perempuan agar dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan penyimpangan yang bersifat merugikan.
2.      Perlunya bukti ilmiah yang menunjukkan manfaat sunat perempuan. Setiap terdapat perbedaan dalam masalah hukum, hendaknya di ambil pendapat yang membawa kemaslahatan dan bukti sebuah penelitian ilmiah berkenaan dengan manfaat atau substansi, untuk menghindari hal-hal yang merugikan perempuan, laki-laki ataupun orang lain.
3.      Bidan perlu bijaksana dalam menyikapi adanya perbedaan pendapat mengenai sunat perempuan dan menghindari perpecahan dan melaksanakan fungsi dakwah dengan mampu menjelaskan sunat dalam pandangan islam serta mengkaitkannya dengan sisi kesehatan.
4.      Keputusan untuk melakukan sunat perempuan atau tidak melakukan sunat perempuan ada dtangan pasien dan orang tua pasien. Bidan hendaknya tidak pernah memaksa pasien untuk melakukan atau tidak melakukan sunat perempuan.













DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Baiquni.2010.Alqur’an Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi.Yogyakarta: Dana
Ibrahim, Majid Sayid. 2010.Nasihat Rasul Untuk  Wanita. Jakarta : Mizan.
Kamaludiningrat, Achmad Muchsin.dkk. 2012. Kebidanan Dalam Islam. Bantul : Quantum Sinergis Media
Louis Ma’luf.2010.Al Munjid fi al-Lughah wa A’lam. Baerut: Daral-Mashriq
Muhammad Husain. 2007. Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana dan Gender. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan No1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang sunat perempuan
Subhan, Zaitunah.2009. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta:eL-Kahfi
Undang-Undang No 32 Tentang Perlindungan Anak
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27152/4/Chapter%20II.pdf  diakses pada 24 Februari 2016 pukul 20.00 WIB