AGAMA ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN
HUKUM SUNAT PEREMPUAN

NAMA KELOMPOK:
1. NINING
NAZRIH
2. ARUM
WAHYUNINGTYAS
3. TITI
WENNY
4. SHUFIA
AULIA CITRA
5. REZA
BINTANGDARI JOHAN
6. EKA
VICKY YULIVANTINA
7. HAFIFAH
WIAJAYNTI
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN STIKES ‘AISYIYAH PROGRAM STUDI DIPLOMA IV BIDAN PENDIDIK
YOGYAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaykum
Wr. wb
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke
hadirat Allah SWT sebagai sang penguasa alam semesta yang maha pemurah dan maha
penyayang yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas makalah agama islam dan
kemuhammadiyahan yang berjudul “Sunat perempuan” Sholawat serta salam kiranya tercurah pada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat beliau
sebagai sauri tauladan seluruh umat Islam.
Makalah ini adalah salah satu tugas yang
diberakan oleh mata kuliah agama islam dan kemuhammadiyahan. Dalam penyusunan
Makalah ini saya tidak lepas dari bimbingan, pengarahan, petunjuk, bantuan, dan
saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis haturkan terimakasih
kepada semua pihak yang bersangkutan.
Disadari bahwa dalam penulisan
Makalah ini masih terdapat banyak
kesalahn dan masih jauh dari sempurna, sehingga masih perlu perbaikan dan saran
dari para pembaca. Penulis juga berharap semoga Makalah ini dapat memebrikan
manfaat bagi kita semua. Amiin Ya Robbal’Alamiin.
Wassalamu’alaykum
Wr. wb
DAFTAR ISI
COVER
KATA
PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar
Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan
Masalah............................................................................................3
C. Tujuan
Umum...................................................................................................3
D. Manfaat.............................................................................................................3
BAB II TINAJUAN
PUSTAKA..................................................................................4
A. Konsep
dasar khitan perempuan.......................................................................4
B. Budaya
terkait khitan perempuan.....................................................................6
C. Substansi
dan diktum fatwa khitan perempuan................................................8
D. Argumentasi
atas penetapan fatwa khitan perempuan.....................................9
E. Fatwa
MUI tentang khitan perempuan...........................................................11
F. Permenkes
tentang sunat
perempuan..............................................................13
G. Undang-undang
tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan
bentuk diskriminasi
wanita.............................................................................14
H. Peran
bidan terkait pandangan islam terhadap sunat perempuan...................16
BAB III ......................................................................................................................17
A. Kesimpulan.....................................................................................................17
B. Saran...............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pelaksanaan
khitan/sunat perempuan di Indonesia masih banyak menuai kontroversi. Masalah
khitan perempuan dibahas di MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah mendapat
pertanyaan dari Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan. Pertanyaan tersebut
muncul disertai data penyimpanan pelaksanaan khitan perempuan di berbagai
negara. Dan dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Comulation Council
terhadap pelaksanaan sunat perempouan di enam provinsi di Indonesia yang
dibiayai oleh USAID dan Ford Fondation. Bahkan terkait dengan hal ini
departemen kesehatan RI, Dirjen Bina Kesejahteraan Masyarakat telah
mengeluarkan surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi
petugas kesehatan.
Hasil survei
Dana anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) yang dilakukan pada 2013 dan
dipublikasikan tahun 2015 lalu pada 300.000 rumah tangga di 33 provinsi dan 497
kota menyebut bahwa lebih dari separuh anak gadis mereka telah disunat sebelum
umur 12 tahun. Data sunat perempuan tertinggi ditemukan di Provinsi Gorotalo,
dan terendah di Nusa Tenggara Timur.Data UNICEF juga menunjukkan fakta yang
mengejutkan, yakni 3 dari 4 anak gadis yang disunat mengalami pemotongan
klitoris pada umur di bawah 6 bulan.Data itu juga mengungkap bahwa orangtua
adalah orang yang paling banyak merekomendasikan anak-anak gadis ini untuk
disunat, sisanya adalah pemuka agama, saudara, dan tokoh masyarakat.
Disisi lain
terjadi beragam tata cara pelaksanaan khitan bagi perempuan yang tidak jarang
berimplikasi terhadap adanya bahaya bagi perempuan. Dalam penelitian yang
dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia pun telah terjadi keragaman
praktek khitan perempuan. Ada yang dengan cara menggores dan mengerik klitoris,
menusuk, mencubit, dan menindik insisi dan eksisi.
Dorongan untuk
pelarangan khitan perempuan semakin menguat dengan kampanye yang sistematis
dari WHO serta beberapa lembaga donor. Sementara itu, dalam literatur fiqh
tidak ditemukan satupun ulama madzhab fiqh yang muktabar (terkenal) melarang
khitan perempuan. Bahkan ada kesepakatan bahwa khitan perempuan adalah bentuk
keutamaan. Hanya saja terdapat perbedaan hukum fiqh nya antara sunah dan wajib.
Belakangan ada beberapa ulama kontemporer seperti Yusuf Qordowi yang menambah
ketentuan hukum “mubah=boleh”, merujuk pada kenetralan pengertian yang
diperoleh dari kata “makrumah” dalam hadis nabi “al khitanu sunnatan lir rijal
makrumatun lin nisaa = khitan merupakan sunah atau ketetapan rosul bagi laki-laki
dan makrumah (kemuliaan) bagi wanita.
Untuk itu
penetapan fatwa tidak lagi seputar hukum khitan bagi perempuan. Karena secara
fiqh ketentuan tersebut sudah sangat panjang lebar dijelaskan dalam berbagai
literatur, baik klasik maupun kontemporer. Permasalahan yang justru baru adalah
adanya tren pelanggaran terhadap khitan perempuan secara umum. Bahkan sudah
dituangkan dalam kebijakan pemerintah, sekalipun itu hanya surat edaran, yang
dalam tata perundangan kita tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Untuk menjaga
kualitas pelayanan kebidanan yang profesional Qur’ani, dalam makalah ini akan
dijelaskan fiqh perempuan dan budaya yang membahas mengenai sunat perempuan,
bagaimana fatwa MUI terhadap sunat perempuan dan peran pemerintah dalam
menyikapi sunat perempuan.
B.
Tujuan
1.
Tujuan
Umum
Untuk
mengetahui fiqh perempuan dan budaya tentang khitan perempuan.
2.
Tujuan
Khusus
a.
Diketahuinya
konsep dasar khitan perempuan
b.
Diketahuinya
budaya terkait khitan perempuan
c.
Diketahuinya
substansi dan diktum fatwa khitan perempuan
d.
Diketahuinya
argumentasi atas penetapan fatwa khitan perempuan
e.
Diketahuinya
fatwa MUI tentang khitan perempuan
f.
Diketahuinya
Permenkes tentang sunat perempuan
g.
Diketahuinya
undang-undang tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan bentuk
diskriminasi wanita
h.
Diketahuinya
peran bidan terkait pandangan islam terhadap sunat perempuan
C.
Rumusan
masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah
: “Bagaimana fiqh perempuan dan budayapada khitan perempuan ?”
D.
Manfaat
1.
Bagi
bidan
Sebagai
dasar bagi bidan untuk memberikan asuhan kebidanan kepada perempuan sepanjang
siklus hidupnya
2.
Bagi
institusi
Sebagai
dasar untuk dijadikan sumber pustaka mengenai fiqh perempuan dan budaya pada
khitan perempuan
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Konsep
Dasar Khitan Perempuan
1.
Pengertian
Khitan Perempuan
Secara etimologis, khitan berasal dari bahasa Arab “khatana”
yang berarti “memotong”.
Khitan perempuan adalah memotong sedikit kulit labia
minora atau preputium clitoris di
atas uretra di farji atau kemaluan. Kata lain yang sering digunakan adalah
sunat dan istilah lain yang kurang dikenal yaitu khifad yang berasal dari kata
khafd, istilah ini khusus untuk khitan perempuan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan, sunat perempuan
adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa
melukai klitoris.
Secara internasional sunat perempuan dikenal dengan
istilah female genital cutting (FGC)
atau genital mutilation. Genital cutting adalah pemotongan alat
kelamin sedangkan genital mutilation
identik dengan perusakan alat kelamin. FGC merupakan segala prosedur
menghilangkan sebagian atau seluruh bagian alat kelamin luar perempuan atau
perlukaan organ genital perempuan baik karena didasari oleh alasankebudayaan
atau alasan nonmedis lainnya.
2.
Klasifikasi
Khitan Perempuan
WHO
telah melakukan klasifikasi praktek sunat perempuan ke dalam 4 tipe :
a.
Tipe
I : Clitoridotomy, yaitu eksisi dari
permukaan (prepuce) klitoris,
denganatau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris. Dikenal juga dengan
istilah“hoodectomy”.
b.
Tipe
II : Clitoridectomy, yaitu eksisi
sebagian atau total dari labia minora.Banyak dilakukan di Negara-negara bagian
Afrika Sahara, Afrika Timur, Mesir,Sudan, dan Peninsula.
c.
Tipe
III: Infibulasi/Pharaonic Circumcision/Khitan
ala Firaun, yaitu eksisisebagian atau seluruh bagian genitalia eksterna dan
penjahitan untukmenyempitkan mulut vulva. Penyempitan vulva dilakukan dengan
hanyamenyisakan lubang sebesar diameter pensil, agar darah saat menstruasi dan
urinetetap bisa keluar.
d.
Tipe
IV: Tidak terklarifikasi, termasuk di sini adalah menusuk dengan jarumbaik di permukaan
saja ataupun sampai menembus, atau insisi klitoris dan ataulabia; meregangkan (stretching) klitoris dan atau vagina; kauterisasi klitoris danjaringan
sekitarnya; menggores jaringan sekitar introitus vagina (angurya cuts)atau memotong vagina (gishiri cut), memasukkan benda korosif atau tumbuh-tumbuhanagar
vagina mengeluarkan darah, menipis, dan menyempit.
3.
Manfaat
Sunat Perempuan
Ada beberapa anggapan yang dipercayai masyarakat
tentang manfaat khitan perempuan yaitu: Mengurangi dan menghilangkan jaringan sensitif dibagian
luar kelamin terutama klitoris agar dapat menahan keinginan seksualitas
perempuan, memelihara kemurnian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaaan di
dalam pernikahan, dan menambah kenikmatan seksual laki- laki. Namun, manfaat
tersebut tidak didasari fakta ilmiah.
4.
Resiko
Sunat Perempuan
Menurut Koblinsky (2007) Resiko yang timbul akibat
sunat pada perempuan dapat berupa perdarahan, tetanus, infeksi yang disebabkan
oleh alat yang digunakantidak steril, dan syok karena rasa nyeri saat dilakukan
tindakan tanpa anastesi. Dalam pandangan medis kegiatan sunat pada perempuan
dapat membahayakan,karena menyangkut menghilangkan alat vital pada perempuan.
Dari tindakan sunatperempuan dapat mengakibatkan komplikasi yang bersifat
jangka panjang padaperempuan seperti: Kesulitan menstruasi, infeksi saluran
kemih kronis,disfungsi seksual, kesulitan saat hamil dan persalinan, dan
meningkatkan resiko tertularHIV. Selain berdampak secara medis, sunat perempuan
juga dapat menimbulkandampak yang bersifat psikoseksual, psikologis, dan
sosial.
B.
Budaya
Terkait Khitan Perempuan
Praktik khitan
perempuan atau sudah ada sejak jaman sebelum masehi. Penelitian antropologi
menunjukkan bahwa praktik tersebut sudah ada pada mummi perempuan Mesir yang
justru ditemukan pada golongan kaya dan berkuasa, bukan dari rakyat jelata pada
abad ke-16 SM. Ahli antropologi menduga pada jaman kuno sunat untuk mencegah
masuknya roh jahat melalui vagina. Khitan pada mummi itu memiliki
tandaclitoridectomy (pemotongan yang merusak alat kelamin). Selain ditemukan
pada bangsa Mesir, khitan juga sudah menjadi tradisi bangsa-bangsa di lembah
Nil; yakni Sudan, Mesir dan Ethiopia.
Di Indonesia
banyak provinsi yang masih menerapkan sunat perempuan. Sunat perempuan
merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang timbul sejak dahulu dari berbagai
nilai, khususnya nilai agama dan nilai budaya. Alasan inilah yang menyebabkan
terpeliharanya dan tetap berlangsungnya sunat perempuan. Secara umum, perempuan
yang masih memelihara praktek sunat pada perempuan adalah mereka yang hidup
dalam masyarakat tradisional di wilayah pedalaman. WHOmembedakan alasan
pelaksanaan sunat perempuan sehingga masih membudaya sebagai berikut :
1.
Psikoseksual
Sunat pada perempuan berawal dari keinginan
laki-laki untuk mengendalikan seksual wanita. Dalam tradisi masyarakat,
laki-laki tidak akan menikahi wanita yang belum disunat dan menganggap wanita
tersebut akan gemar bersetubuh dengan siapa saja, tidak bersih dan tidak layak
dipercaya secara seksual. Dalam masyarakat yang mempraktekkan sunat perempuan,
seorang perempuan yang tidak disunat tidak akan mendapatkan jodoh dan kesetiaan
perempuan yang tidak disunat sangat diragukan oleh masyarakat.
2.
Sosiologi
Secara sosiologi khitan pada perempuan merupakan
bagian dari identifikasi warisan budaya, tahapan anak perempuan memasuki masa
kedewasaan, integrasi sosial dan memelihara kohesi sosial.
3.
Kebersihan
Alasan kebersihan, kesehatan dan keindahan merupakan
dalil pembenaran yang diakui oleh masyarakat untuk melakukan sunat perempuan.
Pemotongan klitoris dikaitkkan dengan tindakan pensucian dan pembersihan oleh
masyarakat.
4.
Mitos
Budaya yang berhubungan dengan sunat perempuan yang
perlu mendapat perhatian adalah mitos-mitos yang mendasari pelaksanaan sunat
perempuan. Masyarakat meyakini bahwa bila anak perempuan yang tidak disunatkan
akan menjadi nakal dan genit. Mitos lain yang berkembang dimasyarakat yaitu
sunat perempuan akan menjadikan perempuan lebih feminim, mengontrol kegiatan
seksual perempuan dan menjadikan perempuan selalu tunduk kepada laki-laki.
5.
Agama
Landasan agama sebagai alasan pokok mengapa tradisi
khitan pada perempuan sampai sekarang masih dilaksanakan oleh sebagian
masyarakat, diantaranya adalah beberapa pendapat yang mengatakan kewajiban
bersunat dalam agama islam walaupun sejarah menemukan sunat perempuan sudah ada
sebelum adanya islam. Ada sekelompok umat islam yang berpandangan bahwa jika
perempuan tidak di khitan tidak diperkenankna membaca Al-Quran dan melakukan
shalat lima waktu.
C.
Substansi
dan Diktum Fatwa Khitan Perempuan
Diktum fatwa MUI
No 9.A tahun 2008 tertanggal 7 Mei 2008, tentang : “ Hukum Pelarangan Khitan
Terhadap Perempuan” terdiri dari 4 bagian :
1.
Status
hukum khitan perempuan
a.
Khitan
bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah atau aturan dan syiar islam
b.
Khitan
terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk
ibadah yang dianjurkan.
2.
Hukum
pelarangan khitan terhadap perempuan
Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah
bertentangan dengan ketentuan syariah, karena khitan, baik bagi laki-laki
maupun perempuan termasuk fitrah atau aturan dan syiar islam.
3.
Batas
atau cara khitan perempuan
a.
Khitan
perempuan cukup dengan hanya menghilangkan selaput ( jaldah/colum) yang menutupi klitoris
b.
Khitan
perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau
melukai klitoris ( insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dloror (bahaya dan
merugikan)
4.
Rekomendasi
a.
Meminta
kepada pemerintah departemen kesehatan untuk menjadikan fatwa ini sebagai acuan
dalam penetapan peraturan / regulasi tentang masalah khitan perempuan.
b.
Menganjurkan
kepada pemerintah untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis
untuk melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa MUI.
Dari diktum
fatwa tersebut, sejatinya fatwa MUI ingin menegaskan dua substansi sekaligus,
yaitu menegaskan (tidak menyetujui) tindak pelarangan khitan terhadap perempuan
dan menegaskan tata cara berkhitan bagi perempuan yang sesuai dengan ketentuan
syariah dan melarang tindakan berlebihan dalam praktek khitan yang menimbulkan
bahaya bagi perempuan baik secara fisik maupun psikis.
D.
Argumentasi
atas Penetapan Fatwa Khitan Perempuan
Fatwa MUI
terkait dengan masalah khitan perempuan diawali dengan adanya penegasan bahwa
khitan baik bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah dan syiar islam.
Pelaksanaannya merupakan bagian dari ibadah. Hal ini menjadi penting untuk
ditegaskan terkait dengan adanya kesalahpahaman terhadap posisi khitan. Khitan
tidak hanya sekedar kebutuhan medis, namun merupakan bentuk ibadah yang
dogmatik. Meski tidak jarang ajaran agama yang bersifat dogmatik tersebut
melahirkan hikmah positif.
Fatwa ini
berdasar pada keumuman ayat tentang perintah mengikuti millah Ibrahim
sebagaimana dalam Al Quran surat Ali Imron ayat 95 :
Katakanlah
: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.” Maka ikutilah agama Ibrahim yang
lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.
Surat An-Nisa ayat 125 :
Dan
siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti
agama Ibrahim yang lurus ? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangn-Nya.
Surat Ali Imron ayat 31 :
Katakanlah
: “ jika kamu ( benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah maha pengampun lagi maha
penyayang.
Penetapan fatwa
bahwa pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan syariah,
didasarkan pada keumuman ayat-ayat Al-Quran tersebut diatas. Sunnah dan
pandangan ulama madzhab yang bersepakat atas kebolehan khitan terhadap
perempuan. Secara tersirat, terdapat adanya konsensus di kalangan ulama mengenai
ketidakbenaran tindakan pelarangan khitan terhadap perempuan. Ulama sepakat
bahwa khitan terhadap perempuan tidak haram, pun tidak makruh.
Dalil Al-Quran
yang dijadikan landasan fatwa MUI ini
adalah keumuman ayat tentang keharusan mengikuti millah Ibrahim, antara lain
surat An Nahl ayat 123 :
Kemudian
kami wahyukan kepadamu (Muhammad) : “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”
dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Dalam konteks
ayat ini ada penjelasan dari hadis nabi SAW shaheh, riwayat Bukhari Muslim yang
artinya : “nabi Ibrahim berkhitan pada
usia delapan puluh tahun dengan menggunakan kapak.”
E.
Fatwa
MUI tentang Khitan Perempuan : Moderasi atau Jalan Tengah Antara Dua Ekstrim
Dari paparan di
atas, dapat kita pahami bahwa fatwa MUI terkait dengan masalah khitan perempuan
merupakan langkah modernisasi diantara dua ekstrim. Jika digambarkan secara
sederhana, penyikapan terhadap masalah khitan perempuan ada dua kutub yang
berlawanan, yaitu :
1.
Pihak
yang melakukan khitan terhadap perempuan dengan praktek yang secara pasti
membahayakan seperti dengan menjepit dan sejenisnya, menutup dan menjahit
vagina, mengambil seluruh klitoris dan labia baik labia mayora maupun minora dan
praktek lain yang membahayakan sebagaimana digambarkan terjadi di beberapa
negara di Afrika Utara.
2.
Pihak
yang melarang seluruh praktek khitan perempuan dengan alasan sebagai bentuk
kekerasan, mutilasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Banyak tulisan yang
bernada sangat provokatif dan memaksakan opini bahwa khitan perempuan adalah
tindakan kriminal yang harus diberangus.
Fatwa MUI berdiri di antara dua ekstrim tersebut,
karena keduanya secara akademik maupun keagamaan bertentangan dengan ketentuan
normatif yang dikembangkan islam. Kepada pihak yang menyatakan pelarangan
mutlak terhadap khitan perempuan secara agama jelas bertentangan, sebagaimana
tersebut dalam diktum kedua fatwa yang dijelaskan di atas. Namun demikian fatwa
MUI tidak menutup mata terhadap fatwa adanya berbagai praktek khitan perempuan.
Fatwa MUI juga menegaskan mengenai batasan atau tata cara khitan perempuan
sesuai dengan ketentuan syariah. Penentuan batasan atau tatacara khitan
tersebut didasarkan pada petunjuk yang diberikan nabi SAW yang menekankan 3
prinsip, yaitu :
1.
Sedikit
saja
2.
Tidak
berlebihan
3.
Tidak
menimbulkan bahaya
Rasulullah SAW
hanya memperbolehkan pemotongan dalam sunat dilakukan dengan syarat tidak
berlebihan, sehingga tidak menyebabkan bahaya, seperti mengurangi fungsi seksual
dan dampak pfisik lainnya. Di samping itu, penetapan batas atau tatacara khitan
juga merujuk pada pendapat beberapa ahli kedokteran, diantaranya kesimpulan
dalam presentasi Prof.Dr.Jurnalis Uddin (Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
Jakarta) yang menegaskan bahwa khitan pada laki-laki hanya memotong preputium penis, mestinya yang dilakukan
pada khitan perempuan adalah juga memotong
preputium klitoris saja. Dengan demikian khitan terhadap perempuan secara
umum sebanding dengan khitan terhadap laki-laki. Hanya saja karena secara
anatomis antara keduanya berbeda, maka tatacaranya juga berbeda. Khitan lelaki
dilakukan dengan membuang kulup yang menutupi penis (hasyafah) sedang pada
perempuan dilakukan dengan membuang kulup yang menutup klitoris (bizhr).
Fakta terhadap
adanya berbagai dampak negatif yang ditemukan, lebih sebagai akibat
penyimpangan dari praktek khitan perempuan tersebut. Untuk itu sebagai tindak
lanjut dari langkah moderat dalam penyimpangan terhadap masalah khitan
perempuan, fatwa MUI diakhiri dengan dua point rekomendasi. Kedua rekomendasi
tersebut diberikan mengingat masalah khitan perempuan sebagai salah satu bentuk
ibadah, dalam hukum islam termasuk dalam masalah Fiqh Ijtima’i ( yang punya
dimensi sosial), sehingga membutuhkan intervensi dari pemegang kebijakan
publik.
Dari fatwa
tersebut, MUI menyetujuia adanya pelarangan khitan perempuan yang menyimpang,
tetapi mendukung sepenuhnya kelompok yang memperbolehkan khitan perempuan
dengan cara yang sesuai dengan syar’i terseut, dengan 3 prinsip yang
dikemukakan oleh nabi SAW dalam hadis-hadisnya.
F.
Permenkes
Tentang Sunat Perempuan
Penegasan
mengenai status hukum khitan perempuan tidak hanya disuarakan oleh MUI. Hampir
seluruh lembaga keagamaan menegaskan hukum yang terkait dengan masalah ini.
Bahkan NU dalam mukhtamarnya yang ke 32 di Makasar pada tahun 2010 menegaskan
bahwa khitan perempuan menurut Imam Syafi’i hukumnya wajib seperti khitan bagi
laki-laki.
Atas dasar
realitas ini kemudian pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan melakukan
review terhadap masalah tersebut. Dalam review tersebut seluruh pemangku
kepentingan diundang untuk mendiskusikan, mengevaluasi dan memberikan masukan
terkait dengan sunat perempuan. Pertemuan tersebut menghadirkan ahli dan
sejumlah asosiasi, mulai dari IDI, IDAI, IBI dan juga dari kalangan akademisi.
Masalah yang
selama ini dijadikan alasan pelarangan sunat perempuan adalah tidak adanya standar operational prosedur (SOP),
dalam pelaksanaan sunat perempuan, sehingga terjadi penyimpangan yang
membahayakan. Atas dasar inilah maka Menteri Kesehatan menerbitkan Peratuaran
Menteri Kesehatan No.1636/MENKES/PER/XI/2010,dalam pasal 4 telah mengatur
mengenai syarat dan prosedur pelaksanaan
sunat perempuan, yaitu :
1.
Pelaksanaan
sunat perempuan dilakukan dengan persyaratan :
a.
Di
ruangan yang bersih
b.
Tempat
tidur / meja tindakan yang bersih
c.
Alat
yang steril
d.
Pencahayaan
yang cukup
e.
Ada
air bersih yang mengalir
2.
Pelaksanaan
sunat perempuan dengan prosedur tindakan sebagai berikut :
a.
Cuci
tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir
b.
Gunakan
sarung tangan steril
c.
Pasien
berbaring terlentang, kaki direntangkan secara hati-hati
d.
Fiksasi
pada lutut dengan tangan, vulva ditampakkan
e.
Cuci
vulva dengan povidon iodin 10%
menggunakan kain kasa
f.
Bersihkan
kotoran yang ada di antara frenulum klitoris
dan glan klitoris sampai bersih
g.
Lakukan
goresan pada frenulum klitoris dengan
menggunakan ujung jarum steril sekali pakai berukuran 20-22G dari sisi mukosa
ke arah kulit tanpa melukai klitoris
h.
Cuci
ulang daerah tindakan dengan povidon
iodin 10%
i.
Lepas
sarung tangan
j.
Cuci
tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir
G.
Undang-undang
Tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Bentuk Diskriminasi Wanita
Sejalan dengan
kampanye pelarangan sunat perempuan, muncul opini sistematis bahwa khitan
perempuan merupakan pelanggaran terhadap hak perempuan, merusak alat produksi
dan opini stereotipikal lainnya. Gagasan dan semangat perlindungan hak asasi
termasuk hak anak dan hak perempuan menjadi komitmen semua bangsa yang
berbudaya, apapun agamanya.
Secara rinci
Permenkes No 1636/Menkes/Per/XI/2010 memberikan jaminan perlindungan kesehatan
terhadap pelaksanaan khitan perempuan tanpa terjebak pada wilayah agama dan
keyakinan. Permenkes ini mengikat bagi orang yang akan melaksanakan sunat
perempuan. Untuk menjamin pelaksanaan sesuai kompetensinya, pada pasal 2
Permenkes menegaskan bahwa sunat perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan tertentu yang meliputi dokter, bidan dan perawat yang telah memiliki
surat ijin praktek atau surat ijin kerja dan diutamakan yang berjenis kelamin
perempuan. Sementara untuk menjamin bahwa pelaksanaan sunat perempuan bersifat
opsional, maka pasal 3 menegaskan bahwa pelaksanaan khitan perempuan hanya
dapat dilakukan atas permintaan dan persetujuan perempuan yang disunat,
orangtua dan atau walinya. Dan diinformasikan kemungkinan terjadinya
perdarahan, infeksi dan rasa nyeri. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip
perlindungan anak sebagaimana diatur dalam UU no 32 tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Ketentuan ini dengan sifatnya berbasis permintaan, juga
sekaligus menjawab tudingan sebagian orang bahwa pemerintah telah masuk dalam
urusan agama.
Untuk menegaskan
perlindungan terhadap anak yang akan disunat dan mencegah terjadinya
komplikasi, sunat perempuan tidak dapat dilakukan pada perempuan yang sedang
menderita infeksi genitalia eksterna. Sunat perempuan juga dilarang dilakukan
dengan cara mengkauterisasi klitoris, memotong atau merusak klitoris baik
sebagian atau seluruhnya, memorong atau merusak labia minora, labia mayora,
hymen dan vagina baik sebagian atau seluruhnya. Ketentuan ini sekaligus
mengkonfirmasi praktek sunat perempuan yang tidak dibenarkan secara medis. Permenkes
ini juga sekaligus menjadi benteng untuk mencegah penyimpangan praktek sunat
perempuan yang membahayakan bagi orang yang disunat.
Walau demikian,
masih bayak yang berteriak dan menganggap permenkes ini bertentangan dengan hak
asasi manusia. Dalam pernyataan sikapnya Yayasan Kalyana Mitra dan LSM Amnesty International menyerukan
pencabutan permenkes ini. Pernyataan sikap bersama masyarakat sipil Indonesia
dan Amnesty Internasional tertanggal
23 Juni 2011 adalah sebagai berikut : “Peraturan Menteri Kesehatan
No1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang sunat perempuan harus dicabut.” Pernyataan
ini antara lain didukung oleh Yayasan Kalyana Mitra dan LBH APIK DKI Jakarta.
Dalam pernyataan sikapnya, kelompok ini mengutip Komite PBB untuk CEDAW 2007
yang menegaskan bahwa praktek sunat perempuan tidak memiliki dasar agama.
Sebagaimana dijelaskan di awal dan dipertegas dalam fatwa MUI, dalam islam praktek
sunat perempuan jelas berelasi dengan agama.
H.
Peran
Bidan Terkait Pandangan Islam terhadap Sunat Perempuan
Bidan sebagai
tenaga kesehatan di tingkat pertama, hendaknya bijaksana dalam menyikapi sunat
perempuan di Indonesia. Bidan harus mampu menjelaskan bagaimana sunat perempuan
yang seharusnya dilakukan, resiko sunat perempuan dan melakukan inform choice dan inform consent terhadap pasien serta keluarga pasien yang hendak
melakukan sunat perempuan.Peran dakwah bisa dilakukan dengan memberikan
penjelasan bagaimana sunat perempuan dalam pandangan islam kepada pasien.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Khitan perempuan
adalah memotong sedikit kulit labia minora atau preputium clitoris di atas uretra di farji atau kemaluan. Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan, sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit
yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Beberapa anggapan yang dipercayai
masyarakat tentang manfaat khitan
perempuan yaitu: Mengurangi dan menghilangkan jaringan sensitif dibagian
luar kelamin terutama klitoris agar dapat menahan keinginan seksualitas
perempuan, memelihara kemurnian dan keperawanan sebelum menikah. Menurut Koblinsky (2007) Resiko yang
timbul akibat sunat pada perempuan dapat berupa perdarahan, tetanus, infeksi
yang disebabkan oleh alat yang digunakan tidak steril, dan syok karena rasa
nyeri saat dilakukan tindakan tanpa anastesi. Dalam pandangan medis kegiatan
sunat pada perempuan dapat membahayakan,karena menyangkut menghilangkan alat
vital pada perempuan.
Pada Diktum
fatwa MUI No 9.A tahun 2008 tertanggal 7 Mei 2008, tentang : “ Hukum Pelarangan
Khitan Terhadap Perempuan” dijelaskan bahwa sejatinya
fatwa MUI ingin menegaskan dua substansi sekaligus, yaitu menegaskan (tidak
menyetujui) tindak pelarangan khitan terhadap perempuan dan menegaskan tata
cara berkhitan bagi perempuan yang sesuai dengan ketentuan syariah dan melarang
tindakan berlebihan dalam praktek khitan yang menimbulkan bahaya bagi perempuan
baik secara fisik maupun psikis. Bidan sebagai tenaga kesehatan di tingkat
pertama, hendaknya bijaksana dalam menyikapi sunat perempuan di Indonesia.
Bidan harus mampu menjelaskan bagaimana sunat perempuan yang seharusnya
dilakukan, resiko sunat perempuan dan melakukan inform choice dan inform
consent terhadap pasien serta keluarga pasien yang hendak melakukan sunat
perempuan.
B.
Saran
1.
Perlunya
persamaan persepsi dengan masyarakat mengenai sunat perempuan agar dalam
pelaksanaannya tidak menimbulkan penyimpangan yang bersifat merugikan.
2.
Perlunya
bukti ilmiah yang menunjukkan manfaat sunat perempuan. Setiap terdapat perbedaan
dalam masalah hukum, hendaknya di ambil pendapat yang membawa kemaslahatan dan
bukti sebuah penelitian ilmiah berkenaan dengan manfaat atau substansi, untuk
menghindari hal-hal yang merugikan perempuan, laki-laki ataupun orang lain.
3.
Bidan
perlu bijaksana dalam menyikapi adanya perbedaan pendapat mengenai sunat
perempuan dan menghindari perpecahan dan melaksanakan fungsi dakwah dengan
mampu menjelaskan sunat dalam pandangan islam serta mengkaitkannya dengan sisi
kesehatan.
4.
Keputusan
untuk melakukan sunat perempuan atau tidak melakukan sunat perempuan ada
dtangan pasien dan orang tua pasien. Bidan hendaknya tidak pernah memaksa
pasien untuk melakukan atau tidak melakukan sunat perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Baiquni.2010.Alqur’an Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi.Yogyakarta: Dana
Ibrahim,
Majid Sayid. 2010.Nasihat Rasul Untuk
Wanita. Jakarta : Mizan.
Kamaludiningrat,
Achmad Muchsin.dkk. 2012. Kebidanan Dalam
Islam. Bantul : Quantum Sinergis Media
Louis
Ma’luf.2010.Al Munjid fi al-Lughah wa
A’lam. Baerut: Daral-Mashriq
Muhammad
Husain. 2007. Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana dan Gender. Yogyakarta :
LKiS Yogyakarta.
Peraturan
Menteri Kesehatan No1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang sunat perempuan
Subhan, Zaitunah.2009. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta:eL-Kahfi
Undang-Undang No 32 Tentang Perlindungan Anak
http://www.rappler.com/indonesia/118576-indonesia-kasus-sunat-perempuan diakses pada 23 Februari 2016 pukul
02.00 WIB
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27152/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada 24 Februari 2016 pukul 20.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar